Mencoba Memutar Kembali Kepingan Kenangan di Gunung Lawu Melalui Jalur Cetho

reuni/re·u·ni/ /réuni/ n pertemuan kembali (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dan sebagainya) setelah berpisah cukup lama          

Leyeh-leyeh di Gupak Menjangan, Gunung Lawu via Cetho
Ide reuni bagi mereka yang telah terpisah sekian belas tahun sering tercetus di antara perbincangan teman lama yang masih memiliki komunikasi dengan baik, namun untuk mewujudkannya adalah masalah lain. Begitupun yang terjadi pada saya dan beberapa kawan yang dahulunya, sekitar 13 atau 14 tahun lalu pernah memiliki malam dan siang bersama di Gunung Lawu, mendaki, berbagi beban, peluh saat berjalan bahkan sesederhana berbagi segelas kopi hitam pekat yang diperlukan untuk menghangatkan tubuh. Sekitar pertengahan tahun ide itu tercetus dan berjanji akan mewujudkannya di akhir tahun, awalnya di bulan Oktober yang akhirnya batal dan diganti ke bulan Desember. Saya sendiri termasuk orang yang pesimis untuk mewujudkan ide ini, karena menurut saya banyak halangan yang akan terjadi jika beberapa orang yang sudah memiliki kehidupan sendiri di masing-masing kota berkumpul bersama, melepaskan aktivitas yang mengikat mereka lalu menghilang bersama entah untuk tiga atau 2 hari di gunung. Syukurlah masih ada satu teman yang kurang waras, berkeras dan punya tekad kuat bahwa reuni ini harus terjadi, Aji namanya.



Bapak Aditya Adji Gautama yang Berkeras Mewujudkan Rencana Reuni
Akhirnya hari itu benar-benar terjadi. Persiapan apa yang telah dilakukan jauh-jauh hari ? tidak ada, bahkan teman dari Bali a.k.a Rani (I call her Tia) baru memesan tiket dua minggu sebelumnya untuk datang dari Bali karena ketidakpastian akan ikut serta, Arifin (I call him Pincuk) yang baru memaksa bos-nya di Jepara untuk memberikan cuti beberapa hari sebelumnya, Aji yang hidup di Ponorogo dan beberapa bulan sebelumnya sudah saya peringatkan untuk menyusun stamina agar tidak kehabisan nafas saat mendaki malahan baru bebas tugas jaga shift malam di hari kami berangkat, saya sendiri ? baru membuat list kebutuhan dan perencanaan perjalanan satu minggu sebelumnya karena pekerjaan yang bertumpuk di Surabaya. Ya memang dari sekian banyak teman yang kami harapkan ikut serta dalam perjalanan reuni, akhirnya yang benar-benar berangkat hanya 4 orang termasuk saya, ya sudah apa lacur, rencana harus tetap berjalan bukan ? Kami mau mengadakan perjalanan reuni mendaki Gunung Lawu di Magetan melalui jalur Candi Cetho di Kemuning, Jawa Tengah, kemudian turun ke arah Jawa Timur melalui jalur Cemorosewu selama tiga hari dua malam di tanggal 10-12 Desember 2016.

Mbak Tia a.k.a Rani yang Datang Jauh-Jauh dari Bali demi Mendaki
The One and Only Arifin a.k.a Pincuk
Kami baru berkumpul untuk mempersiapkan semuanya yaitu belanja logistik, sewa alat, packing di pagi hari Sabtu tanggal 10 Desember 2016, berkeliling kota Magetan seharian, menumpang mengisi baterei handphone dan kamera di rumah Aji lalu diakhiri dengan packing di rumah saya. Tia sendiri baru tiba dari perjalanan cukup panjang naik pesawat DPS-SBY, naik bus Surabaya-Maospati, ojek Maospati-Magetan dan akhirnya tiba di rumah saya pada pukul 14.30 WIB, praktis kami baru benar-benar bisa beranjak dari rumah saya sekitar jam 15.00 WIB. Menuju Candi Cetho, sempat mampir di beberapa tempat untuk makan dan mencari kebutuhan lain yang dirasa masih kurang. Tiba di Candi Cetho pada pukul 17.15 WIB setelah di perjalanan disuguhi pemandangan matahari terbenam di antara perbukitan, pegunungan dan perkebunan teh yang mempesona. Setelah saya sadari ternyata hanya di sore itu kami mendapatkan pemandangan langit cerah saat matahari terbenam, sisanya adalah hujan dan mendung.

Sunset yang Mempesona diambil dari pelataran Candi Cetho, Jawa Tengah
Di Cetho, kami melakukan perijinan di pos pendakian dan ternyata ada peraturan baru yang mengharuskan kami untuk meninggalkan salah satu KTP dari anggota kelompok untuk menjamin kami tidak akan turun melalui jalur lain, karena waktu itu tidak diperbolehkan dengan alasan sedang badai di jalur Cemorosewu, saya pikir rencana perjalanan yang telah saya susun akan berubah, tetapi kami akan melihat kondisi nanti untuk memutuskan apakah akan turun lewat jalur Cetho lagi atau tidak, selain itu juga ada kabar bahwa sumber air yang sedianya terdapat di Pos 3 ternyata sedang tidak mengalir karena terkena longsor, sehingga rencana menginap di Pos 3 mungkin bisa dipertimbangkan sesuai dengan kekuatan kami berjalan, namun dari bawah kami harus sudah membawa beberapa botol air minum lagi untuk persiapan menginap, karena sumber air baru hanya akan didapat setelah kita mencapai Gupak Menjangan di atas Pos 5, well inilah beberapa hal tidak terduga saat kita harus bermain di alam, kadang ada yang tidak sesuai rencana dan kami harus mengubah beberapa, karena hal tersebut yang lebih mungkin. Proses perijinan berjalan cepat dengan mengisi dua lembar form perijinan dan membayar uang sejumlah Rp. 15.000,- per orang. Persiapan selanjutnya adalah pemanasan dan peregangan otot-otot dan packing beberapa botol air minum yang baru dibeli, akhirnya pada pukul 18.00 WIB kami baru beranjak dari pos perijinan Cetho dan berjalan mendaki ke atas. Untuk informasi saja bahwa kali ini saya membawa carrier Deuter 45+10 Lt dengan kapasitas penuh, dan terakhir yang saya ingat, saya bawa carrier dengan kapasitas penuh seperti ini adalah saat mendaki gunung Kerinci tahun 2013 silam, jadi rasa was-was apakah saya sanggup atau tidak, sempat menghinggapi di awal perjalanan. 

Let's Go!
Perjalanan dari pos perijinan (1.500 mdpl) menuju Pos 1 Mbah Branti (1.600 mdpl) ditempuh dengan waktu normal sebenarnya yaitu sesuai target selama 1 jam, namun daya upaya dan nafas beberapa teman sungguh tidak normal, bahkan Aji yang awalnya membawa carrier meminta untuk digantikan oleh Pincuk saat perjalanan belum mencapai 20 menit. Saya sendiri juga masih menyesuaikan nafas, kaki dan punggung agar terbiasa. Inilah keunikan mendaki gunung, keinginan yang menggebu saat persiapan pendakian dan euforia berlebih saat mencapai puncak tidak pernah melampirkan betapa sulitnya melakukan adaptasi bernafas dan membawa beban berat saat satu hingga dua jam di awal perjalanan, inilah justru saat terberat mendaki gunung dan dalam hati mulai merutuk yang berujung pada pertanyaan "Kenapa sih saya harus naik gunung ? Kenapa sih saya harus susah payah jalan menanjak ? Kenapa sih saya harus susah payah bawa beban berat ? Kenapa sih saya harus rela meninggalkan kenyamanan kasur dan selimut di rumah ?" dan banyak kenapa lainnya, namun apa daya kita akan terlalu malu untuk menyerah turun dan akhirnya terpaksa berjalan maju dengan nafas hampir putus.

Candi Kethek yang Akan Dilewati Jalur Pendakian Gunung Lawu via Cetho
Waktu istirahat di Pos 1 tidak seberapa lama, kami hanya minum secukupnya, menghisap satu batang rokok, menyapa beberapa pendaki "muda" yang kebetulan bertemu di jalan, mengambil beberapa gambar bulan yang tersembunyi di balik awan dan memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan ke Pos 2. Medan yang ditempuh dari Pos 1 menuju Pos 2 sebagian masih sama yaitu semak-semak dan mulai memasuki hutan dengan pepohonan di setengah perjalanan. Waktu tempuh perjalanan masih sama yaitu 1 jam yang artinya sesuai dengan target perjalanan yang saya buat, akhirnya kami sampai di Pos 2 Brakseng (2.000 mdpl). Di pos ini terdapat pohon besar dengan bebatan kain kotak-kotak hitam putih seperti di Bali dan semerbak bau dupa. Awalnya kami akan meneruskan perjalanan hingga ke Pos 3, karena saya tidak pernah menyukai untuk tinggal di Pos 2 Candi Cetho ini, jika hanya kelompok kami yang menginap, namun saat itu ada kelompok lain yang menginap dan menimbang bahwa kondisi Pos 3 yang sempit dan saat itu sedang ramai oleh pendaki lain, mungkin saja kami tidak mendapat tempat untuk mendirikan tenda, selain itu juga saya melihat kondisi Aji yang fisiknya belum seberapa fit setelah jaga malam, maka perjalanan menuju Pos 3 akan lebih berat karena akan ditemukan beberapa tanjakan tanpa ampun di dekat hutan cemara. Lagipula kali ini kami punya waktu 3 hari kan, dan konsep acaranya adalah reuni, jadi mari kita nikmati malam kita di gunung dengan sebaik-baiknya.

Langit Cerah Malam Itu di Pos 1 di Hari Pertama

Kruntelan Hari Pertama (Abaikan foto yang blur)
Malam di Pos 2, kami lanjutkan dengan segera mendirikan tenda, memasak, makan malam dan bercerita sambil menengguk beberapa sesap minuman penghangat hingga pukul 02.00 WIB. Malam itu saya memasak soto ayam dengan beberapa bahan pelengkap yang disambut hangat oleh teman-teman karena mengingat dulu saat mendaki di masa SMA kami hanya sanggup makan mie instan tanpa side dish apapun. Saat merencanakan perjalanan ini sudah saya katakan ke mereka jika masalah makanan, pasti saya akan jamin dengan memuaskan, jangan khawatir :) Soto ayam berisi suwiran ayam goreng, kol, bihun, tomat segar dan taburan bawang goreng dimakan dengan nasi panas yang mengepul dari trangia serta pelengkap usus goreng yang secara impulsif kami beli di swalayan saat membeli logistik menjadi sangat istimewa. Di malam pertama yang seharusnya kami gunakan untuk istirahat dan tidur lebih awal ternyata malah membuat kami ngobrol tak henti, bercanda, foto-foto, kruntelan dan sedikit ceplosan curhat sampai jam 02.00. Saya menyadari bahwa, cara kita bercanda masih sama, tidak ada yang berubah, berpisah belasan tahun dan hidup terpisah di masing-masing kota berbeda dengan kondisi sudah ada yang menikah dan punya anak tak membuat kami canggung sama sekali, rasanya seperti kembali ke perjalanan mendaki di tahun 2003 silam. Kami tidur dengan lelap hingga pagi keesokan harinya.

Nasi Putih Mengepul dan Soto Ayam Hangat di Ketinggian 200 mdpl, Mau ?
Pagi itu, Minggu 11 Desember 2016 karena bergadang, kami lewatkan pagi dengan lambat. Membuka mata pukul 06.30, bermalas-malasan hingga pukul 08.00 WIB, menjerang nasi untuk sarapan, memasak tumis dan menghangatkan lauk ayam suwir yang sayangnya agak basi :(, membongkar tenda, packing dan semuanya baru selesai saat waktu menunjukkan sekitar 10.00 WIB. sekitar jam 10.30 WIB kami baru benar-benar siap dengan tas ransel dan carrier di punggung untuk kembali melanjutkan perjalanan yang saya yakin akan panjang dan melelahkan hari itu. Dengan kemantapan hati dan kekuatan fisik yang telah bertambah, kami mulai berjalan setapak demi setapak menuju Pos 3 yang jalurnya sebagian berupa hutan hujan dengan pepohonan yang beraneka ragam dan sebagian berupa hutan cemara dengan tanjakan yang tak habis-habisnya. Saya kurang ingat, jam berapa kami sampai di pos 3 Cemoro Dowo (2250 mdpl), mungkin sekitar pukul 12.30 karena kami sempat berhenti di jalan agak lama di sebuah tempat yang menyerupai shelter yang dekat sekali dengan Pos 3 pada jam 12.15, dan tidak lama kemudian kami sampai di Pos 3 tetapi kami tidak berhenti lama, hanya menengguk air sebentar kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pos 4.

Suasana camp di Pos 2 Brakseng (2.000 mdpl)
Dalam Perjalanan Menuju Pos 3, Kami Sempat Rehat Sejenak
Perjalanan Menuju Pos 4 dengan Vegetasi Pepohonan Cemara
Perjalanan menuju Pos 4 masih menyerupai jalur sebelum Pos 3 yaitu tanjakan tiada henti di antara hutan cemara yang tumbuh rapat. Hampir tidak ada pemandangan yang dapat dinikmati sepanjang jalan, namun mendekati Pos 4, ada beberapa bagian yang agak terbuka sehingga terlihat awan di kejauhan menaungi kota-kota di bawah kaki langit. Di antara tanjakan yang tak ada habisnya dan menghabiskan stamina serta memaksa kami untuk pandai mengatur nafas, pemandangan ini sungguh menjadi suatu penghiburan. Waktu menunjukkan pukul 14.30 saat kami mencapai Pos 4 Penggik (2.500 mdpl), suasana di Pos 4 sangat ramai dengan pendaki dan hampir tidak menyisakan tempat untuk kami beristirahat. Tanjakan terakhir sebelum pos 4 sungguh keterlaluan dan menghajar kami, namun untunglah shelter Pos 4 yang ramai di depan memberikan penghiburan. Saat itu saya sempat membicarakan tentang sikap pendaki-pendaki masa kini yang saat melihat rekan pendakian baru saja menuntaskan tanjakan tanpa ampun lalu tiba di shelter Pos yang seharusnya bisa dipakai bersama dan disambut paling tidak dengan sapaan namun tidak ada sama sekali yang menyapa saat itu, bahkan tak ada sama sekali tempat disisakan bagi kami untuk sekedar mengambil nafas dan beristirahat, hehe..mungkin ini hanya sedikit pandangan subyektif saya yang seharusnya tidak perlu. 

Di Pos 4, matahari sempat agak terang, namun tak berapa lama hujan rintik mulai datang dan menjadi semakin deras. Tak ingin basah kami segera melakukan persiapan untuk berjalan dalam keadaan hujan. Memakai jas hujan, membungkus matras yang ada di luar dengan menggunakan trash bag dan bersiap untuk berjalan dengan kondisi celana maupun sepatu basah. Tidak lama kemudian perjalanan kami lanjutkan menuju Pos 5, di antara kondisi hujan dan keyakinan bahwa tenaga teman-teman sudah habis terkuras dalam setengah perjalanan menuju Pos 5, medan yang ditempuh memang tidak semenanjak perjalanan di Pos sebelumnya, tetapi kondisi hujan dan medan tanah yang amat becek menyulitkan kami dan menghabiskan tenaga. Hujan kadang reda, tidak berapa lama kemudian turun kembali sehingga membingungkan apakah akan terus memakai jas hujan atau tidak, karena berjalan dengan menggunakan jas hujan tidak pernah mudah. Saat mendekati sabana di Pos 5, kami menjumpai pemandangan yang indah, ketika hujan mulai reda dan awan tersingkap sehingga terihat rumah-rumah mini di kejauhan balik bukit, sungguh suatu penghiburan di tengah medan yang tidak mudah. Tanjakan demi tanjakan kami lalui, tak seberapa lama kami menjumpai sabana yang menandakan bahwa Pos 5 tinggal sebentar lagi, di tengah-tengah sabana, sebelum tanjakan terakhir menuju Pos 5 kami menyempatkan diri untuk istirahat sebentar dan mengisi perut dengan roti dan coklat. Hawa mulai dingin di tempat ini karena saat itu sama sekali tidak ada matahari dan mendung menggantung di atas kami. Perjalanan belum berhenti, karena target kami sore itu bukanlah Pos 5, tetapi Gupak Menjangan, agar lebih dekat ke sumber air dan tentunya lebih dekat menuju Hargo Dalem target kami menginap malam itu. Setelah menempuh satu tanjakan, kami mencapai Pos 5 Bulak Peperangan (2.850 mdpl), menyempatkan untuk berfoto sebentar karena pemandangan di Pos 5 ini sungguh sangat indah dengan sabana yang membentang. Waktu saat itu menunjukkan pukul 16.30 WIB.

Capek, Teman-Temanku Sayang ? Ya Terang Saja, Namanya Juga Naik Gunung
Rumah-rumah Mini di Balik Bukit
Ini Di Pos 5 Bulak Peperangan (2.850 mdpl)
Tidak ada waktu untuk istirahat lama, raga sudah lelah, lapar melanda, jadi perjalanan ini harus terus kami lanjutkan lagi dan lagi menuju Gupak Menjangan untuk mendapatkan air dan selanjutnya menuju Mbok Yem di Hargo Dalem untuk mendapatkan tempat menginap. Medan yang ditempuh selanjutnya masih berupa sabana dengan satu tanjakan terakhir yang agak curam kemudian masuk ke sabana lagi, dan hutan pinus sebelum memasuki area Gupak Menjangan berupa sabana dengan kubangan air yang hanya akan terisi di musim hujan, sebelum memasuki area Gupak Menjangan, terdapat hutan pinus yang cocok untuk dijadikan area camp, awalnya kami hanya akan mencoba untuk istirahat sebentar di sini dengan pertimbangan menyusun energi untuk mencapai Hargo Dalem yang berjarak tempuh sekitar 1.5 jam lagi dengan beberapa tanjakan. Kemudian melihat kondisi teman-teman yang sudah kehabisan energi dan langit yang mulai gelap, entah karena mendung ataupun sore yang menjelang, kami memutuskan untuk menginap di hutan pinus dekat dengan Gupak Menjangan, saat itu waktu menunjukkan pukul 17.30 WIB. Cuaca yang dingin karena hujan dan juga ketinggian membuat kami segera bergegas untuk mendirikan tenda, berganti pakaian kering, mengambil air dan menjerang minuman panas. 

Area Camp di Dekat Gupak Menjangan
Di camp ini, kami menghabiskan malam dengan kedinginan, masak, menjerang air untuk kopi, menggosip, bercanda, mengobrol semua dilakukan dari dalam tenda, bahkan keluar untuk sekedar buang hajat kecil pun rasanya malas sekali, terlihat bahwa teman-teman mulai tepar dan menggelepar. Tia yang ternyata alergi udara dingin, mengeluh sinusnya kambuh lalu langsung tertidur begitu kondisi dalam tenda sudah nyaman. Aji yang bertugas mengambil air ke Gupak Menjangan kala itu segera bergegas sebelum udara akan menjadi terlalu dingin, Pincuk yang sebelum mencapai Pos 5 sudah kewalahan dengan tanjakan dan jalur, juga langsung meringkuk tidur di pojokan, namun belum berhasil karena menawarkan bantuan untuk memasak dan saya segera menugaskan untuk mengupas bawang, saya seperti biasanya setelah tenda berdiri dan tertata, mulai menyiapkan perlengkapan untuk memasak. Malam itu menunya adalah Sop ayam yang berisi sayuran lengkap, makaroni, suwiran ayam dan taburan bawang goreng tidak lupa. Setelah masakan matang, langit sudah gelap, kami segera masuk ke dalam tenda untuk makan malam, dan menghabiskan sisa minuman penghangat yang tinggal setengah botol. Kopi juga sudah dibuat, kami merapat membicarakan apa saja dengan posisi senyaman mungkin, karena inilah yang sesungguhnya dicari saat naik gunung, menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda. Teknisnya hanya tinggal saya, Aji dan Pincuk yang bertahan sampai pukul 22.00 WIB malam itu, Tia sudah tewas sejak pukul 20.00, tenaga kami benar-benar terkuras habis dan tak sanggup membuka mata lebih lama lagi.

Menu Istimewa Hari Ke-2 di Atas Ketinggian 2.900 mdpl : Sop Ayam Komplit 
Keesokan paginya di hari terakhir perjalanan kami, saat itu hari Senin, 12 Desember 2016, kami terbangun sekitar pukul 06.00, segera menjerang air untuk membuat kopi dan teh panas. Memakan nasi putih sisa kemarin malam dengan lauk mie kuah sayur dari logistik kami yang tersisa, maka targetnya jelas kami harus mencapai Mbok Yem dan pulang ke rumah hari ini karena logistik kami habis :) Hal ini tentu tidak dibenarkan, karena untuk melakukan pendakian, sebaiknya logistik yang dibawa harus dilebihkan kapasitasnya sebanyak porsi logistik untuk satu hari dengan tujuan berjaga-jaga jika kita tersesat atau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Setelah sarapan selesai, kami segera bergegas untuk packing, dan foto-foto di antara rimbun pinus dan kabut yang belum sirna sejak kemarin. Hari ini pun kami juga bersiap untuk berjalan dalam kondisi basah, tetapi apalah daya, inilah resiko naik gunung di musim hujan. Kami meninggalkan camp pada pukul 08.30 WIB untuk kemudian berhenti lagi dan berfoto di Gupak Menjangan karena pemandangan sabana di jalur Cetho ini sungguh mempesona. Perjalanan menuju Hargo Dalem kami lanjutkan melewati hamparan sabana lagi, kemudian hutan pinus dengan tanjakan curam, hutan mentigi yang menandakan bahwa puncak sudah semakin dekat lalu sebidang tanah lapang yang menyajikan batu-batu berserakan sebelum mencapai Hargo Dalem. Tempat itu adalah Pasar Dieng yang menurut mitos merupakan pasar lelembut, di mana pengikut Prabu Brawijaya V yang moksa di Hargo Dalem melakukan transaksi perdagangan di kala malam. Sebelum sampai di Pasar Dieng akan ada persimpangan yang menunjukkan arah ke kanan adalah ke Hargo Tiling dan Hargo Puruso lalu jika ke kiri adalah jalan menuju Hargo Dalem selanjutnya bisa sampai ke Hargo Dumilah, titik tertinggi di Gunung Lawu. Sebenarnya jalur di sekitar pasar Dieng ini agak membingungkan karena banyak percabangan dan sebaiknya tidak ditempuh saat malam hari atau hari gelap, walaupun sudah banyak petunjuk arah yang ditempelkan di pepohonan.

Menikmati Suasana Berkabut Sisa Hujan Semalam
Lihatlah Indahnya Sabana di Gupakan Menjangan
Cara Mengambil Air adalah Seperti Ini
Berfoto Ala Bolot a.k.a Pincuk a.k.a Arifin
Mulai Memasuki Area Pasar Dieng
Setelah perjalanan selama 1.5 jam, kami mencapai warung Mbok Yem pada pukul 10.00 WIB dan disambut dengan hujan yang awalnya berupa rintik-rintik kemudian semakin deras membuat kami segera mencari tempat berteduh di depan warung tertinggi di Pulau Jawa ini. Warung ini menjual berbagai macam kebutuhan, mulai dari tahu goreng, tempe goreng, nasi pecel lauk telur ceplok, nasi campur, fanta, rokok, krupuk, pokoknya lengkap lah. Kami memesan kopi untuk menghangatkan badan sambil menunggu hujan reda, karena rencananya kami akan pergi ke puncak setelah hujan agak reda. Di dalam warung Mbok Yem yang sebenarnya cukup luas untuk dijadikan shelter pendaki, sangat penuh saat itu hingga kami tidak mendapatkan tempat, namun atas dasar kenekatan, senyuman manis dan kerlingan mata, halah..akhirnya Tia berhasil mendapatkan tempat strategis untuk kami beristirahat dan menghangatkan diri sambil menunggu hujan reda. Pukul 11.30 kami memutuskan untuk meninggalkan tas dan carrier lalu melanjutkan perjalanan ke puncak. Cuaca masih tidak menentu, tiba-tiba hujan reda, bisa seketika hujan deras, ataupun sempat beberapa menit di puncak awan terbuka dan ada sedikit cahaya matahari namun tak seberapa lama mendung kembali menggelayut manja. Kami mencoba memanfaatkan jendela waktu di antara cuaca yang tidak menentu untuk segera mencapai puncak dan turun gunung.

The Legendary Mbok Yem yang Membuka Warung di Gunung Lawu
Sampai di Hargo Dumilah, waktu menunjukkan pukul 12.00, setapak demi setapak sambil kami coba mengingat kembali perjalanan menuju puncak Gunung Lawu, puncak gunung pertama yang kami daki sewaktu SMA, mengingat bagaimana rasanya dan mengulangnya lagi jika mungkin. Masa ketika gejolak hormon pertumbuhan masih tinggi, keinginan untuk merasakan puncak gunung dan perjalanannya. Saat itu di puncak sangat ramai, karena memang waktu pendakian yang kami pilih kali ini bertepatan dengan libur long weekeend yang tentunya mengundang banyak pendaki dari berbagai kota. Saya yang pertama kali menginjakkan kaki di puncak, kemudian menyusul Tia, Pincuk dan Aji. Tidak ada euforia berlebihan saat kami mencapai puncak, tetapi saya yakin dalam ingatan dan hati teman-teman saya terus memutar kenangan-kenangan lama saat kami mencapai puncak dulu, tiada hentinya Pincuk berkata "Dulu kan gak seperti ini, dulu tugunya hanya kecil sekali, sekarang sebesar ini ?", lalu Aji menimpali "Dulu kan kita bukan hanya ke puncak ini, tetapi kita juga berjalan hingga ke ujung, lalu berfoto dengan mencopot baju?". Saya hanya diam dan tersenyum-senyum saja saat itu, ingatan 13 tahun lalu berkelebat jelas, dan tanpa kata saya ajak teman-teman untuk menepi ke tempat yang lebih sepi di ujung barat puncak, hampir di tepian tebing di tempat dulu kami pernah berfoto bersama dan mereka para lelaki uji kekuatan dengan berfoto tanpa memakai sehelai kain.

Replikasi Foto Ala Tahun 2003 Lalu dengan Body yang Sudah Tidak Ehem..

Di ujung sebelah barat puncak itulah kami memuaskan diri untuk berfoto-foto, bercerita tentang waktu dulu saat pertama kali kami menginjakkan kaki di tempat ini, tentang betapa berbedanya suasana sekarang dengan waktu dulu. Tak lupa pula kami memakan beberapa camilan dan minuman yang telah kami bawa dari bawah, sedikit selebrasi di puncak waktu itu adalah meminum sebotol kecil fanta merah dan beberapa kerat buah pir. Kami selalu mengingat betapa naif dan sederhanya perjalanan kami dulu, naik gunung tanpa persiapan yang berarti baik persiapan fisik, alat maupun logistik. Bisa tiba-tiba memutuskan naik gunung keesokan harinya tanpa harus olahraga dulu, naik gunung juga tidak menggunakan sandal gunung ataupun sepatu yang tepat, saya masih ingat sandal gunung pertama saya bermerek Erger (buka Eiger saudara-saudara), berharga Rp 10.000,- per pasangnya tanpa spesifikasi vibram ataupun gerigi yang memadai sama sekali. Lalu naik gunung tidak pernah mau membawa beban sedikitpun (Saya dan Tia tepatnya), akan menunjukkan muka memelas ke teman-teman laki-laki agar dibawakan bebannya, jadilah mereka para laki-laki yang akan membawa tas besar dan berat masih harus ditambah beban membawa barang kami juga menggandeng kami yang pada saat jalan naik, Tia pasti kesulitan sedangkan saya pasti mudah sekali terpeleset saat jalan turun. Perlengkapan konyol lagi lainnya adalah sarung tangan karet yang biasanya digunakan untuk berkebun, dan tentunya tidak akan menghangatkan malah menambah dingin, tenda ala-ala pantai yang jika malam menjelang, akan tertembus oleh angin gunung yang bertiup sepoi-sepoi dingin membuat menggigil, atau tenda micky mouse yang dipakai anak TK bermain kemah-kemahan. Dulu kami tak pernah takut meskipun harus tidur di sembarang tempat tanpa tenda, misalnya di cekungan semak-semak di pinggir jalan setapak, ataupun tidur di dalam gua yang pengap dan di dalamnya dinyalakan api unggun untuk menambah kehangatan tetapi malah membuat kami kesulitan bernafas, lalu pagi harinya hidung bagian dalam pasti hitam. Itulah beberapa contoh cerita konyol yang memang pernah kami lakukan dulu saat masih muda (sekarang sudah tua??), hahaha...

Berfoto di Ujung Dunia
Puncak! Gunung Lawu 3.265 mdpl, Kami Kembali Setelah 13 Tahun Berselang
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, saatnya kami beranjak turun kalau tidak mau kemalaman sampai pos Cemorosewu, target kami hari ini memang pos Cemorosewu karena Tia harus pergi dengan pesawat jam 06.00 pagi besok dari Solo, saya harus menguji skripsi besok jam 14.00 siang dan si Aji sudah berjanji akan kembali ke Pulung malam itu demi anak istrinya, Pincuk mah gak ada kewajiban apa-apa. segera kami turun dan dalam perjalanan turun dari puncak ini, sempat pula kami tersesat ke arah jalur kanan Sendang Drajad, karena si penunjuk jalan agak melamun, tapi untunglah tidak terlalu jauh melencengnya. kami sempat pula membuat foto-foto rekonstruksi mengulang foto-foto yang pernah kami buat dulu saat tahun 2003 naik ke Gunung Lawu. Saat kami sampai di tempat Mbok Yem lagi, kami sangat lapar dan dalam bayangan kami, akan makan siang di sana, namun apa daya, nasi putih pun habis karena ramainya pendaki, kata Mbok Yem kami diminta menunggu karena sebentar lagi kemungkinan porter logistik dari bawah akan segera datang dan juga nasi yang sedang ditanak akan segera matang. Bayangan makan nasi pecel dengan lauk telur mata sapi di atas ketinggian 3.000 mdpl membuat kami bersabar dan menunggu. Akhirnya kami sempat makan siang dengan mi goreng, nasi pecel dengan lauk telur mata sapi, minum teh panas dan siap untuk melanjutkan perjalanan turun dengan kondisi hujan dan gelap malam yang pasti akan menjelang di antara Pos 2 ke basecamp Cemorosewu.

Foto Replikasi Setelah 13 Tahun Berselang

Pecel Mbok Yem yang Tiada Duanya

Apapun itu, mari hadapi kawan! menunggu sedikit gerimis mereda lalu kami segera memakai jas hujan selanjutnya teguh berjalan di antara gerimis menuju Sendang Drajad yang merupakan jalur Cemoro Sewu. Entah urusan KTP yang ditinggal di Pos Cetho jadi urusan nanti. Perjalanan ke Sendang Drajad cukup ditempuh dalam waktu 10 menit saja, badan mulai kedinginan karena memang hujan dan kami sempatkan mengambil beberapa botol air Sendang untuk dibawa turun. Ingatan dahulu saat kami menginap di sebuah gua kecil di dekat sendang masih jelas tergambar, dan juga saat Pincuk mandi di kamar mandi dekat sendang, lalu difoto tetapi fotonya tidak sempat tercetak, tentang ada yang buang gas beracun saat tidur di dalam gua, semuanya terus diceritakan sepanjang perjalanan mulai menggalkan sendang, gak habis-habis deh pokoknya. Kami lanjutkan ke arah Pos 5, yang kondisinya kini telah berubah dengan adanya banyak warung, jalur pendakian juga telah berubah berupa batu-batu yang disusun beraturan, juga terdapat pegangan besi yang mungkin memudahkan bagi sebagian orang. Di Pos 5 kami tidak berhenti lama, langsung lanjut ke bawah dengan turunan terjal ke arah Pos 4, di mana terdapat spot foto berupa tumpukan batu kapur. Hujan rintik-rintik mulai turun setelah kami melewati Pos 4, saya dan teman-teman mulai menggunakan jas hujan, berhenti sebentar untuk memakainya lalu kemudian lanjut lagi menuruni jalanan yang semakin terjal menuju Pos 3.

Spot Foto di Pos 4
Saat menuju Pos 3, saya bercerita ke teman-teman seperjalanan bahwa sekarang vegetasi di Pos 3 sedikit berbeda dibanding vegetasi saat kami mendaki Gunung Lawu tigabelas tahun lalu karena sekitar dua atau tiga tahun lalu telah terjadi kebakaran cukup besar yang membakar hampir sebagian besar pepohonan di dekat Pos 3 ke atas, dan juga menimbulkan korban jiwa beberapa orang. Di jalur antara Pos 4 menuju Pos 3 ini pula Pincuk mengingat bahwa ada tumpukan batu di balik bukit yang dahulu pada saat kami mendaki di 2003 digunakan untuk berfoto-foto. Jalur menuju tumpukan bebatuan itu kami temukan di balik pepohonan dan Pincuk segera naik ke atas bebatuan untuk memeriksa, apakah mungkin untuk ke sana dan mengulang berfoto kembali. Jalur bebatuan yang licin karena hujan mengurungkan niat saya dan teman lain untuk mengikuti Pincuk menuju tumpukan bebatuan itu dan juga kami perlu segera turun mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB saat itu. Saat mencapai Pos 3 sekitar pukul 16.30, hujan deras menyambut kami dan memaksa kami harus menghentikan langkah sebentar untuk berteduh hingga hujan agak sedikit reda. Suasana di Pos 3 sangat padat saat itu, ada banyak pendaki2 muda (seolah kami sudah tua) yang juga mungkin berteduh sementara dan juga mendirikan beberapa tenda. Sekali lagi saya melakukan scanning dan pengamatan instan mungkin sedikit terkesan menghakimi tetapi ini hanya penilaian subyektif. Di tengah suasana hujan deras dan dingin khas pegunungan, teman-teman pendaki yang memadati Pos 3 yang luasnya memang terbatas, tidak sedikitpun bergeming untuk memberi tempat pada kami yang kehujanan dan baru datang berlari-lari dan terburu untuk berteduh, pun mereka tidak menepikan sedikitpun barang-barang kurang penting (cangkir setengah isi kopi, kompor sehabis memasak, jas hujan basah) yang ada di tembok yang mengelilingi Pos3, sehingga kami dengan sedikit dongkol harus berteduh di bawah atap yang berada di luar dinding Pos 3 dengan menghindari barang-barang tidak penting tadi yang kami takutkan akan jatuh, ya sudahlah itu hanya pendapat saya pribadi.

Ketakutan akan hawa yang semakin dingin dan waktu yang semakin sore, pada pukul 17.00 kami melanjutkan langkah menuruni gunung menuju Pos 2 setelah hujan agak sedikit mereda juga. perjalanan lancar hingga kami mencapai Pos 2 tepat sebelum jam 6. Saat itu cahaya matahari masih ada dan hujan juga tidak begitu deras mengguyur. Suasana Pos 2 cukup sepi, hanya ada dua rombongan dari Semarang yang menginap dan akan melanjutkan perjalanan turun juga. di Pos ini kami sempatkan diri untuk istirahat karena jalan menurun yang akan kami tempuh selanjutnya dari Pos 2 ke Pos 1 adalah jarak terpanjang dan terberat karena akan kami tempuh dalam gelap. Menghangatkan diri dengan obrolan-obrolan tidak penting mengenai beratnya jalur naik jika kami tempuh dari Cemorosewu ini, tidak seperti 13 tahun lalu yang tentunya pada saat kami semua masih merasa bersemangat dan kuat. Disempatkan pula menyalakan beberapa batang rokok, camilan dan juga menyalurkan hasrat untuk BAB, hingga kami akhirnya merasa kedinginan dan memaksa diri untuk segera berjalan hingga segera sampai di Pos Cemorosewu, headlamp dan senter kami siapkan, dan kami tepat memulai perjalanan benar-benar sebelum gelap menyelimuti. Memang kenyataannya yang terjadi malam itu, perjalanan turun dari Pos 2 menuju Pos 1 ini adalah perjalanan paling berat, saya sendiri yang diberi tugas oleh teman-teman untuk memimpin kelompok berjalan paling depan merasa, dengan jalur khas berbatu disertai medan naik dan turun, rasanya perjalanan saat itu menjadi sangat panjang, tantangannya adalah kesulitan untuk memilih langkah yang tepat di atas batu dalam kondisi gelap malam, hujan gerimis tak henti dan kabut tebal. Saya sempat merasa takut apakah kami berputar-putar di tempat yang sama sejak tadi, saya selalu mengamati bentuk bebatuan dan sampah yang saya temui sepanjang jalan, berharap tidak ada yang sama persis, segera saya enyahkan pikiran-pikiran buruk, kalau tidak mau itu menjadi nyata. Rasa lelah karena perjalanan seharian dari jam 08.30 pagi tadi, berjalan dalam gelap membuat kami semua terdiam dan hanya berkonsentrasi pada langkah kami masing-masing, saya sempat kesulitan karena sepertinya headlamp yang saya miliki rusak atau konslet, Aji yang masih tetap diam sepanjang perjalanan seperti memikirkan sesuatu, Tia yang beberapa kali terantuk jas hujannya sendiri yang dipanggilnya "sayak yang merepotkan" dan juga Pincuk yang...entahlah saya kehilangan kata-kata.

Harapan mulai terlihat di bawah sana, seperti ada cahaya yang berkedip di kejauhan, entah itu Pos 1 ataupun Pos Cemorosewu yang masih jauh, saya tidak peduli yang penting kami ada tujuan, jadi saya terus berjalan sambil sesekali berhenti menunggu teman lain di belakang demi melihat cahaya tersebut. Ini adalah kelemahan dari berjalan dalam gelap teman-teman, kita susah menyadari sudah sampai mana walaupun kita sangat mengenali tempat kita di sekitar (beberapa bulan sebelumnya saya sudah melewati jalur ini dan tetap tidak mengenalinya saat malam), hal ini akan memperbesar kemungkinan kita tersesat, itulah sebabnya maka sebaiknya tidak melakukan perjalanan di gunung pada malam hari dan lebih baik menginap saja di suatu tempat yang datar hingga ada cahaya matahari keesokan paginya. Oke tak seberapa lama seteah melihat cahaya berkedip itu, kami mengakhiri perjalanan kami dari Pos 2 ke Pos 1 dengan sebuah turunan yang terjal dan agak panjang, di bawah sana terdapat bangunan Pos 1, yang kemudian kami sadari adalah cahaya berkedip tadi merupakan headlamp dari pendaki lain yang saat kami hampir mencapai Pos 1, mereka sudah akan melanjutkan jalan ke basecamp Cemorosewu. Di Pos 1 kami menyempatkan beristirahat, hujan gerimis masih saja turun dan kami sudah merasa sangat lelah serta agak lapar saat itu, tapi kami sadar bahwa tujuan akhir kami sebentar lagi akan sampai. Saat itu waktu menunjukkan sekitar jam 07.30

Setelah cukup beristirahat, mengambil nafas, minum air dan menghangatkan diri dengan sebatang rokok, kami melanjutkan perjalanan menuju basecamp Cemorosewu dengan langkah perlahan. Kondisi kami sudah benar-benar capek saat itu ditambah jaur menurun yang sebenarnya tidak terlalu terjal tetapi ternyata amat licin, jika tidak hati-hati akan membuat pergelangan kaki maupun lutut kami tertekuk dan menambah kemungkinan cedera. Akhirnya sambil mengisi waktu dan menikmati saat-saat terakhir bersama di gunung itu, kami saling bercerita hal-hal tidak penting lain mengenai masa lalu ataupun masa kini yang mau kami bicarakan sambil bergandengan tangan satu sama lain, menjaga agar tidak jatuh. Saya sempat mengungkapkan pernyataan ini kepada teman-teman, "Reuni kita kali ini sungguh aneh ya, sekaligus mengesankan karena kita tahu berapa tahun kita terpisah, tentunya kita sudah punya masalah pribadi masing-masing di masa sekarang ini dan itu tentunya tidak ringan tetapi kita masih bisa berkumpul di sini dengan cara yang sama dan cerita-cerita masa lalu tidak penting juga tanpa perlu mengumbar masalah berat kita masing-masing saat ini", lalu Aji menjawab "lah ya itu kan intinya dari Reuni yang sebenarnya Luh, kita tak perlu media promosi besar-besaran, tak perlu perencanaan rumit terlalu lama, jika memang kita ada keinginan ya pasti akan terjadi seperti ini", ah saya hanya bisa tersenyum dan merasakan perasaan hangat menyeruak dalam hati jika mengingat pembicaraan dan lagu-lagu yang kami nyanyikan dengan sumbang malam itu.

Hingga hampir mencapai basecamp Cemorosewu kami tetap berjalan terseok-seok sambil tetap bergandengan dan akhirnya terlihat cahaya terang di kejauhan yang menandakan kami sudah mencapai basecamp. Sesampainya di basecamp, kami segera sibuk masing-masing untuk mengganti pakaian, mengeringkan keringat di badan, minum segelas air, menelopon istri (Aji), melakukan check email dan beberapa chat (Tia), melamun di pojokan kecapekan (Pincuk) dan saya sendiri mencoba menghubungi supir yang berjanji akan menjemput kami malam itu. Saat kami sudah sibuk dengan dunia kami masing-masing seperti ini saya menyadari bahwa moment reuni bersama kami sudah berakhir saat itu, namun kesan yang tinggal di hati saya selama tiga hari dua malam di Gunung Lawu bersama dengan kalian Tia, Aji dan Pincuk tidak akan pernah hilang dan membekas selamanya bahkan ingin diulangi lagi tahun 2017 jika memungkinkan (harus memungkinkan!). Seperti quote yang ditampilkan Tia di salah satu post Instagram saya "Time is The Best Gift You Can Give" . Bagaimana dengan kalian teman-teman ?

Saya tidak bisa mengambil terlalu banyak gambar saat perjalanan turun karena kondisi hujan dan gelap malam, namun sebagai credit title berikut ini saya tampilkan beberapa gambar hasil jepretan kamera manual dengan rol film, tigabelas tahun lalu. Gambar-gambar ini adalah hasil dari proses scanning jadi harap maklum jika resolusi nya rendah.

Foto di Ujung Dunia
Kalau Ini Spot Foto Berupa Tumpukan Bebatuan
Ini adalah Penampakan Puncak Gunung Lawu di Tahun 2013
Ini adalah Tempat Menginap Kami di Sendang Drajad, Gua Kecil dan Semua Orang Ini Muat di Situ


Tulisan ini dipersembahkan hanya untuk teman-teman teristimewa di hati : Rani Puspo, Aditya Adji Gautama, Arifin.

Komentar

Postingan Populer